Imam Bukhari rahimahullah menuturkan di dalam Kitab Shahihnya:
al-Humaidi Abdullah bin az-Zubair menuturkan kepada kami. Dia berkata: Sufyan menuturkan kepada kami. Dia berkata: Yahya bin Sa’id al-Anshari menuturkan kepada kami. Dia berkata: Muhammad bin Ibrahim at-Taimi mengabarkan kepadaku. Dia mendengar ‘Alqomah bin Waqash al-Laitsi berkata: Aku mendengar ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata di atas mimbar: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hanya saja setiap amalan itu dinilai dengan niat. Dan setiap orang akan dibalas sebagaimana apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia raih atau wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia inginkan.” (Hadits no. 1, diriwayatkan juga pada hadits no. 54, 2529, 3898, 5070, 6689, dan 6953)
Faidah Hadits
Beberapa faidah pokok yang bisa dipetik dari hadits ini antara lain:
- Niat merupakan salah satu syarat diterimanya amalan. Tidak dinilai amalan apabila tidak disertai niat yang benar. Niat yang benar dalam beramal adalah dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun beramal dengan niat untuk mendapatkan keuntungan dunia tidak akan mendapatkan pahala di sisi Allah ta’ala, walaupun dia mendapatkan apa yang dicarinya, yaitu keuntungan dunia semata.
- Satu bentuk amalan yang sama bisa mendatangkan hasil yang berbeda karena perbedaan niat orang yang melakukannya. Baik-buruknya balasan dan hasil yang diperolehnya tergantung pada baik-buruknya niat yang ada di dalam hatinya.
- Pentingnya untuk senantiasa memperbaiki dan meluruskan niat sebelum beramal. Karena niat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas amalan seorang hamba. Ibnul Mubarak rahimahullah pernah berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil juga karena niat.”
- Hijrah; yaitu meninggalkan negeri kafir dan kemaksiatan menuju negeri muslim dan ketaatan merupakan salah satu bentuk amal ibadah yang sangat agung. Meskipun demikian, amalan yang besar ini tidak akan berbuah pahala apabila diniatkan untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan dunia semata. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia raih atau wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia inginkan.”
- Peringatan untuk tidak tertipu oleh segala macam kenikmatan dunia sehingga membuat orang berpaling dari ibadah kepada Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat permisalan antara dirinya dengan dunia; tak ubahnya seperti seorang yang sedang menempuh perjalanan kemudian berteduh di bawah sebatang pohon, beristirahat sejenak di sana lantas pergi meninggalkannya. Beliau juga berkata, “Ya Allah, tidak ada kehidupan yang sejati kecuali kehidupan akhirat.” Beliau juga berpesan, “Jadilah kamu di dunia, seperti orang yang asing atau orang yang singgah di tengah perjalanan.”
- Para ulama membedakan istilah niat ke dalam dua bagian. Pertama: Niat dalam pembicaraan tauhid dan akhlak, itulah yang biasa dikenal dengan ikhlas. Niat dalam artian beramal karena Allah, bukan karena selain Allah. Sehingga segala macam bentuk ibadah hanya ditujukan kepada Allah. Kedua: Niat dalam pembicaraan fikih dan peribadatan, ini biasa kita kenal dengan istilah niat. Seperti halnya niat wudhu, niat sholat, niat puasa, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, niat memiliki dua fungsi: untuk membedakan antara kebiasaan dengan ibadah, dan untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain. Contohnya adalah mandi. Yang membedakan antara seorang melakukan mandi besar dengan mandi biasa adalah dengan niatnya. Demikian juga, yang membedakan antara mandi besar yang wajib dengan yang sunnah adalah dengan niatnya. Contoh lain, puasa. Yang membedakan antara orang yang tidak makan karena puasa dan tidak makan karena diet adalah niatnya. Demikian juga yang membedakan antara puasa wajib (misal membayar hutang puasa Ramadhan) dengan puasa sunnah (misal puasa Senin-Kamis) adalah dengan niatnya.
- Para ulama menegaskan bahwa niat adalah amalan hati. Niat bukanlah ucapan “Saya berniat” atau yang semacamnya. Hakikat niat adalah kehendak dan tekad untuk melakukan suatu bentuk ibadah. Apabila seseorang telah memiliki kehendak dan tekad yang kuat untuk melakukan suatu bentuk ibadah sebelum dia melakukannya maka itu artinya dia telah berniat. Sehingga, niat tidak perlu diucapkan dengan lisan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah mencontohkan kepada umatnya supaya mereka melafalkan niat. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia pasti tertolak.” (HR. Muslim). Oleh sebab itu, para ulama menyatakan bahwa syarat diterimanya amalan ada dua; ikhlas dan mengikuti tuntunan. Ikhlas tapi tidak mengikuti tuntunan, tidak diterima. Demikian juga mengikuti tuntunan tapi tidak ikhlas (riya’ misalnya), pun tidak diterima. Maka amalan itu harus ikhlas dan harus sesuai dengan tuntunan. Tidak boleh hilang salah satunya.
- Di dalam hadits ini wanita disebutkan secara khusus padahal ia merupakan bagian dari dunia. “Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia raih atau wanita yang ingin dia nikahi.” Para ulama menjelaskan, bahwa hal ini menunjukkan bahwasanya fitnah atau godaan yang ditimbulkan kaum wanita adalah fitnah yang sangat besar. Di dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah aku tinggalkan sesudahku, suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi kaum pria daripada kaum wanita.” (HR. Muslim)
Wallahu a’lam.